S
|
aat siang hari aku bersama ketiga
temanku mampir di sebuah rumah makan di pinggir jalan. Kami duduk memutari
sebuah meja berbentuk lingkaran yang diatasnya terdapat sebuah payung besar
yang juga berbentuk lingkaran. Ah iya, namaku Erlina
sekarang umurku 24 tahun. Dan ketiga temanku bernama Wijaya, Dian dan Kevin. Wijaya berumur 24 tahun, Dian 25 tahun, dan Kevin 22 tahun.
sekarang umurku 24 tahun. Dan ketiga temanku bernama Wijaya, Dian dan Kevin. Wijaya berumur 24 tahun, Dian 25 tahun, dan Kevin 22 tahun.
"Kevin, apa kau udah dapat
kabar dari Ai-chan?" Kataku memulai percakapan.
"Selama 1 bulan ini aku
belum dapat kabar apapun darinya." Jawab Kevin. Kemudian seorang pelayan
yang sudah berdiri di sampingku bertanya apa yang akan kami pesan dan
mencatatnya pada sebuah buku kecil. Setelah mencatat semua pesanan, pelayan itu
menyuruh kami menunggu dan berjalan membelakangi kami.
Percakapan
yang sempat terputus tadi kami lanjutkan kembali.
"Apa ada diantara kalian
yang sudah dapat kabar dari Ai-chan?" Tanyaku sambil mengarahkan
pandanganku kepada Wijaya dan Dian.
"Belum. Kalau kamu
Yan?" Tanya Wijaya terhadap Dian yang biasa dipanggilnya Yan.
"Sama sekali belum. Aneh,
tumben kamu bertanya tentang ini sama kami. Bukankah kamu yang sering
berhubungan dengannya dari pada kami."
"Hmmmmm, kemarin malam ibuku
pulang telat banget. Kemudian aku bertanya kepada ibuku, kenapa dia pulang telat
lalu dia menjawab ada banyak sekali pekerjaan gara-gara atasannya tiba-tiba
pulang ke Tokyo katanya sedang ada masalah di sana."
"Kemudian kamu langsung
berhenti disana?" Tanya Wijaya. Sebenarnya atasan ibuku adalah ayahnya
Ai-chan. Dan sebenarnya Ai-chan adalah orang Jepang.
"Tidak, kemudian aku
bertanya kepada ibuku apa masalahnya tapi ibuku tak tahu sama sekali. Kemudian,
aku meminta ibuku kalau dia sudah mendapat informasi secepatnya
memberitahuku."
Seorang
pelayan datang menghampiri meja kami untuk mengantarkan pesanan kami.
“Silahkan dinikmati.” Kata
pelayan itu kepada kami berempat yang kemudian kami jawab dengan ucapan terima
kasih. Pelayan itu menundukkan kepala dan meningglkan kami.
Tiba-tiba
teleponku berbunyi tanda panggilan masuk, dilayar kaca itu tertera sebuah nama
yang bertuliskan ibu. Aku menerima telepon itu dan ku keraskan suaranya agar
yang lain juga dapat mendengarnya.
“Hallo Ibu, ada apa?”
“Bukankah kemarin kamu bertanya
tentang masalah yang sedang dihadadapi atasan Ibu kan?”
“Iya.”
“Kata teman Ibu, anak dari atasan
ibu masuk rumah sakit. Katanya dia terkena sirosis atau apalah itu, sekarang
sudah sampai stadium akhir.”
Mendengar hal itu rasanya
jantungku mau lepas, leherku tercekat, dan bernafaspun menjadi sulit.
“Ibu terima kasih.” Kataku yang
kubuat suaraku terdengar biasa.
“Iya.” Setelah itu, aku menutup
telepon dari ibuku.
Aku
melihat teman-temanku, diraut wajah mereka , seakan mengatakan ini tidak
mungkin. Aku mengambil minumanku yang diikuti teman-temanku. Aku meminumnya sampai
habis dan akupun mencoba menjernihkan pikiranku. Aku menelepon seseorang.
“Halo....bisakah kau carikan
tiket pesawat untuk 4 orang....pesawat apapun boleh....sekarang....dibandara
Soekarno Hatta ....iya....makasih....nanti akan kutukar.” Kemudian aku menutup
telepon itu dan berbicara kepada teman-temanku.
“Ayo segara ambil baju kalian dan
pergi ke bandara Soekarno Hatta. Gak ada gunanya bersedih disini.”
Aku
mengambil uang dan kutaruh diatas meja. Kami semua kembali ke rumah kami
masing-masing untuk menyiapkan apa saja yang akan dibawa. Setelah itu kami
berkumpul di bandara, disana aku menghampiri seseorang yang tadi kutelepon.
“Makasih.”
“Sama-sama, sana cepetan
penerbangan tinggal 5 menit lagi.”
“Ok, sampai jumpa.” Kataku
sambil melambaikan tangan dan
meninggalkannya.
Kami
segera masuk ke dalam pesawat dan duduk di tempat duduk kami masing-masing. Aku
melihat wajah teman-temanku yang duduk satu deret denganku. Aku berdoa didalam
hatiku, semoga Ai-chan tidak apa-apa. Kami semua saling berpengangan tangan.
Tanda bahwa, kami semua saling menyemangati. Kevin adalah pacara Ai-chan.
Karena itu, dialah yang paling khawatir diantara kami berempat. Keheningan
diantara kami terpecah saat seorang pramugari menyuruh penumpang untuk memasang
sabuk pengaman, karena pesawat akan segera lepas landas.
Sesampainya
di Tokyo. Kami check in ke hotel, menaruh semua barang-barang kami di kamar
masing-masing. Kemudian tanpa membenahi pakaian, kami langsung pergi ke rumah
sakit tempat Ai-chan dirawat.
Disana
kami bertemu dengan ayah Ai-chan dan seorang anak kecil berdiri disampingnnya.
Ayah Ai-chan cukup lancar berbahasa Indonesia karena dia pernah tinggal lama di
Indonesia.
“Paman, bagaimana Ai-chan?”
Tanyaku.
“Apakah dia baik-baik saja?”
Tanya Kevin.
“Aku senang kalian datang kemari,
dia menunggu kalian. Cepat kalian masuk!” Perintahnya.
Kami masuk kedalam sebuah ruangan.
Disini membuatku merinding. Bau rumah sakit memang tidak menyenangkan. Didalam
ruangan itu ada sebuah ranjang dan Ai-chan tidur di atas ranjang itu. Ai-chan
disambung oleh beberapa selang yang mengarh ke mesin dan 2 buah kantong
berwarna merah dan putih. Kami perlahan mendekatinya. Jantungku seperti
berhenti berdetak dan seluruh tubuhku bergemetar kuat. Aku mencoba untuk
bersuara namun suaraku tak bisa keluar. Aku duduk dikursi yang ada disamping
ranjangnya dan yang lain berdiri. Kami berusaha keras untuk tidak meneteskan
air mata. Kami berusaha untuk tersenyum. Aku menggenggam rokku dan memanggil
namanya. “Ai-chan....”
Kedua mata Ai-chan terbuka perlah
dan dia melihat kami. Dia tersenyum di balik sebuah benda yang menutupi hidung
dan mulutnya.
“Kalian akhirnya datang. Aku
menunggu kalian.” Suaranya sangat lirih dan kecil hingga aku harus mendekatkan
telingaku kemulutnya yang tertutup benda itu.
“Kami datang menemuimu.” Suaraku
terdengar serak.
“Dulu aku berjanji, bahawa aku
akan mengingat kejadian masa kecilku. Kini aku ingat.”
“Terima kasih Ai-chan. Kami harap
kamu cepat sembuh.” Namun dia hanya membalasnya dengan senyuman yang terlihat
tulus.
“Aku ingin kalian bahagia.”
“Iya, besamamu Ai-chan.” Sekali
lagi ia membalasnya dengan seulas senyum tulus.
“Kevin...” Katanya yang kemudian
kuulangi. Aku berdiri dan kini yang duduk di kursi itu adalah Kevin.
“Ada apa Ai-chan?” Suaranyapun
juga terdengar serak.
“Kita putus saja ya?”
“Gak, kita gak akan putus.”
“Kamu harus bahagia. Cari
penggantiku dan hidup bahagia. Banyak gadis yang lebih baik dariku.”
“Gak, gak akan pernah ada yang
sepertimu.”
“Aku menunggu kalian selama ini.
Dan kini apa yang kutunggu telah datang. Aku akan menyelesaikan penungguanku
selama ini pada hari ini. Terima kasih teman-teman hari-hariku menjadi lebih
indah dari yang kubayangkan sebelum bertemu kalian.”
Kemudian
matanya perlahan tertutup dan sebuah layar monitor yang menunjukan detak
jantung Ai-chan, yang tadinya ada garis-garis tak beraturan kini menjadi garis
lurus. Beberapa orang berbaju putih masuk kedalam ruangan itu. Aku menarik Dian
yang tak mau menjauh dari Ai-chan. Sedangkan Wijaya menarik Kevin yang juga tak
mau menjauh dari Ai-chan.
Diluar
ruangan itu, kami berempat menangis sambil mengingat kenangan-kenangan indah
bersama Ai-chan. Saat kita tertawa dan menangis bersamanya. Ayah Ai-chan juga,
meneteskan air matanya. Kemudian anak kecil yang berdiri disamping ayah Ai-chan
bertanya kepada ayah Ai-chan dengan bahasa Jepang yang kami mengerti, karena
Ai-chan sudah pernah mengajari kami bahasa Jepang.
“Ayah-ayah, kenapa Ayah menangis
dan mereka juga?” Ayah Ai-chan berjongkok hingga tinggi mereka hampir sama.
“Hiroshi, kakan Ai-chan sekarang
bersama ibu.”
“Gak, gak boleh. Kakak gak boleh
bersama ibu” Kata Hiroshi yang ternyata adalah adik Ai-chan yang diikuti
tangisan kerasnya. Ayah Ai-chan mendekapnya.Aku berpikir, sia-sia saja sekeras
apapun kami menangis, gak akan ada yang berubah sama sekali. Ai-chan gak akan
pernah hidup kembali. Apakah kami dapat menjalani hidup tanpamu? Bagiku Ai-chan
adalah adikku yang sangat berharga. Aku tak sanggup membayangkan hari-hariku
tanpa Ai-chan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar